Catatan Panitia
Usai sudah rangkaian Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI. Pengumuman pemenang yang dilaksanakan pada tanggal 29 Maret 2008 di Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta (CCF Jakarta) menghasilkan tiga pemenang Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI.
Perjalanan serta proses Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI dimulai sejak Oktober 2007. Mengambil tema “Manusia dan Air” yang berbicara mengenai eksistensi air di Indonesia serta hubungannya dengan perilaku dan eksistensi manusia. Sajian kondisi nyata mengenai eksistensi air dan hubungannya dengan perilaku dan eksistensi manusia di sekitarnya dirasakan sangat penting dalam membangkitkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam segala macam upaya konservasi air.
Tujuan dari kompetisi ini adalah mengumpulkan film-film dokumenter pendek yang akan dijadikan sebagai alat kampanye penyadaran masyarakat atas penting isu persoalan air, baik di Indonesia maupun dunia.
Terkumpul 42 film dokumenter dari berbagai kota di Indonesia. Dari ke-42 film tersebut, panitia meloloskan 11 film yang masuk kedalam kompetisi dan dari 11 film tersebut, 6 film lolos sebagai nominator kompetisi yang akan memperebutkan pemenang I, II, dan III yang nanti akan dibacakan oleh dewan juri.
Dengan ini FORKAMI mengucapkan kepada semua pihak yang telah membantu segala proses kompetisi ini;
Water (Water and Sanitation Network) atau JAS (Jaringan Air dan Sanitasi), ESP-USAID (Environmental Service Program - United States Agency for International Development), TPJ ( Thames PAM Jaya), PALYJA (PAM Lyonnaise Jaya), Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta (Mr. Patrick perez) yang telah menyediakan tempat untuk menyelenggarakan program pemutaran kompetisi ini, serta Green Radio yang mendukung acara ini.
Kembali kepada 11 film yang berlaga di kompetisi ini, terpilih 6 film yang menjadi nominator Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI. Dan ke-6 nominator itu adalah:
Ribuan Warga Dambakan Air Bersih dan Sehat Karya Bambang Hengky
Sang Pawang Air karya Bowo Leksono
Badai (Berharap Air di Atas Air) karya Onny Kresnawan
Mata Air Mata karya Aditya Wardhana
MataAirMata karya Shalahuddin Siregar
Punggung Berkeringat di Tanah Yang Retak (Ngobrol dengan Mbok Giyem) karya M. Toha Nuhson Hajji
Keenam film tersebut yang dianggap oleh panitia dapat mewakili kriteria yang syaratkan oleh panitia Kompetisi Film Dokumenter Forkami. Dan kriteria isi tersebut meliputi:
I. Konteks Tema
Seberapa dekat karya dengan konteks tema kompetisi: “Manusia dan Air”.
II. Kefaktualan dan Keaktualitasan Isu
Penilaian ini akan melihat bagaimana karya tersebut merangkum fakta-fakta aktual mengenai isu air di Indonesia. Seberapa dekat karya bersangkutan dengan fakta aktual isu air di Indonesia? Seberapa kuat karya tersebut menyajikan fakta-fakta yang ada?
III. Penyajian
Penilaian ini akan melihat keseimbangan penyajian informasi dengan kemampuan artistik pengkarya dalam mengemas informasi tersebut. Karya tidak diharus dilihat sebagai bentuk “berita” atau “reportase” mengenai isu air dan manusia, namun juga dapat menggali sisi lain dari isu tersebut dalam kerangka narasi kecil.
IV. Lain-lain
Penilaian diluar tiga kerangka diatas sebagai nilai tambah bagi karya.
Sedangkan penjabaran tema Manusia dan Air meliputi:
- Sajian kondisi nyata isu eksistensi air di Indonesia
- Perilaku manusia dalam memperlakukan air
- Kualitas air dan isu kesehatan masyarakat
- Konservasi air dari berbagai sudut pandang
- Air sebagai bagian dari kebudayaan dari sebuah peradaban
Tujuan dari kompetisi adalah untuk mengumpulkan film dokumenter yang berbicara mengenai isu air dari berbagai aspek dan korelasinya dengan hidup serta kehidupan manusia.
Panitia juga mencatat, dari ke-42 karya film pendek dokumenter yang masuk, mayoritas belum mampu untuk menggambarkan isu persoalan air secara utuh. Panitia masih banyak menemukan karya yang bersifat reportase dan tidak menggali fakta maupun data lebih jauh. Dengan isu persoalan air yang kompleks, simplifikasi persoalan banyak sekali terjadi di film-film yang masuk ke panitia.
Namun bukan berarti keenam nominator tidak memiliki kelemahan. Kurangnya penajaman isu hingga cara menampilkan data masih menjadi kelemahan utama yang muncul. Tapi keenam film nominasi inilah yang kemudian dianggap paling memenuhi syarat untuk masuk ke penjurian final.
Dari enam film, dewan juri memilih tiga terbaik untuk ditentukan pemenang I, II, dan III. Penilaian meliputi berbagai aspek, baik secara artistik maupun kekuatan isu yang disampaikan.
Dan ketiga film itu adalah:
Badai (Berharap di Atas Air) Karya Onny Kresnawan sebagai pemenang III.
Sang Pawang Air karya Bowo Leksono sebagai pemenang II.
Punggung Berkeringat di Tanah Yang Retak (Ngobrol dengan Mbok Giyem) karya M. Toha Nuhson Hajji sebagai pemenang I.
Dan berikut adalah penjelasan rasionalisasi juri atas tiga film pemenang tersebut:
Punggung Berkeringat di Tanah Yang Retak (Ngobrol dengan Mbok Giyem) karya M. Toha Nuhson Hajji dianggap paling mampu menterjemahkan kriteria yang ditentukan oleh panitia. Bagaimana perjuangan mendapatkan air yang merupakan simbol dari kehidupan manusia tergambarkan dengan baik. Pengorbanan, tolenransi, dan kekuatan isu yang lintas sektoral serta pesan yang tersampaikan dengan baik juga menjadi poin yang menjadikan film ini menjadi pemenang pertama.
Sang Pawang Air karya Bowo Leksono, menampilkan satu solusi menarik akan permasalahan air di masyarakat. Inisiasi masyarakat dalam mengatasi persoalannya secara kolektif merupakan gambaran menarik didalam film ini. Namun film ini terlalu deskriptif dalam menampilkan data serta fakta. Pembuat film kurang maksimal dalam memanfaatkan eksplorasi visual dalam karyanya, walau tidaak dapat dipungkiri secara teknis, film ini tampil dengan baik.
Badai (Berharap Air di Atas Air) karya Onny Kresnawan menggambarkan satu kondisi ironis masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai. Persoalan kesehatan yang terkorelasi dengan konsumsi air sungai ditempat mereka tinggal adalah satu poin penting dalam film ini. Namun film ini belum cukup dalam menampilkan data yang faktual bagaimana perubahan lingkungan tempat mereka tinggal menjadi daerah penanaman sawit yang diduga turut merusak kualitas air yang mereka konsumsi.
Sedangkan untuk tiga film lainnya, dewan juri mencatat kurangnya kejelian pembuat film dalam menterjemahkan kriteria yang diinginkan oelh panitia hingga teknis pembuatan yang tidak maksimal yang merupakan alasan mengapa dewan juri tidak memilihnya.
Namun bagi semua karya baik yang lolos seleksi maupun tidak, panitia serta dewan juri berterimakasih kepada semua pembuat film yang mengirimkan karyanya. Pada dasarnya, kompetisi ini bukan soal menang atau kalah, tapi mencoba untuk mengajak semua pihak untuk menyadari pentingnya isu air bagi kita semua.
Jakarta, 29 Maret 2008
Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI
Usai sudah rangkaian Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI. Pengumuman pemenang yang dilaksanakan pada tanggal 29 Maret 2008 di Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta (CCF Jakarta) menghasilkan tiga pemenang Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI.
Perjalanan serta proses Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI dimulai sejak Oktober 2007. Mengambil tema “Manusia dan Air” yang berbicara mengenai eksistensi air di Indonesia serta hubungannya dengan perilaku dan eksistensi manusia. Sajian kondisi nyata mengenai eksistensi air dan hubungannya dengan perilaku dan eksistensi manusia di sekitarnya dirasakan sangat penting dalam membangkitkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam segala macam upaya konservasi air.
Tujuan dari kompetisi ini adalah mengumpulkan film-film dokumenter pendek yang akan dijadikan sebagai alat kampanye penyadaran masyarakat atas penting isu persoalan air, baik di Indonesia maupun dunia.
Terkumpul 42 film dokumenter dari berbagai kota di Indonesia. Dari ke-42 film tersebut, panitia meloloskan 11 film yang masuk kedalam kompetisi dan dari 11 film tersebut, 6 film lolos sebagai nominator kompetisi yang akan memperebutkan pemenang I, II, dan III yang nanti akan dibacakan oleh dewan juri.
Dengan ini FORKAMI mengucapkan kepada semua pihak yang telah membantu segala proses kompetisi ini;
Water (Water and Sanitation Network) atau JAS (Jaringan Air dan Sanitasi), ESP-USAID (Environmental Service Program - United States Agency for International Development), TPJ ( Thames PAM Jaya), PALYJA (PAM Lyonnaise Jaya), Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta (Mr. Patrick perez) yang telah menyediakan tempat untuk menyelenggarakan program pemutaran kompetisi ini, serta Green Radio yang mendukung acara ini.
Kembali kepada 11 film yang berlaga di kompetisi ini, terpilih 6 film yang menjadi nominator Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI. Dan ke-6 nominator itu adalah:
Ribuan Warga Dambakan Air Bersih dan Sehat Karya Bambang Hengky
Sang Pawang Air karya Bowo Leksono
Badai (Berharap Air di Atas Air) karya Onny Kresnawan
Mata Air Mata karya Aditya Wardhana
MataAirMata karya Shalahuddin Siregar
Punggung Berkeringat di Tanah Yang Retak (Ngobrol dengan Mbok Giyem) karya M. Toha Nuhson Hajji
Keenam film tersebut yang dianggap oleh panitia dapat mewakili kriteria yang syaratkan oleh panitia Kompetisi Film Dokumenter Forkami. Dan kriteria isi tersebut meliputi:
I. Konteks Tema
Seberapa dekat karya dengan konteks tema kompetisi: “Manusia dan Air”.
II. Kefaktualan dan Keaktualitasan Isu
Penilaian ini akan melihat bagaimana karya tersebut merangkum fakta-fakta aktual mengenai isu air di Indonesia. Seberapa dekat karya bersangkutan dengan fakta aktual isu air di Indonesia? Seberapa kuat karya tersebut menyajikan fakta-fakta yang ada?
III. Penyajian
Penilaian ini akan melihat keseimbangan penyajian informasi dengan kemampuan artistik pengkarya dalam mengemas informasi tersebut. Karya tidak diharus dilihat sebagai bentuk “berita” atau “reportase” mengenai isu air dan manusia, namun juga dapat menggali sisi lain dari isu tersebut dalam kerangka narasi kecil.
IV. Lain-lain
Penilaian diluar tiga kerangka diatas sebagai nilai tambah bagi karya.
Sedangkan penjabaran tema Manusia dan Air meliputi:
- Sajian kondisi nyata isu eksistensi air di Indonesia
- Perilaku manusia dalam memperlakukan air
- Kualitas air dan isu kesehatan masyarakat
- Konservasi air dari berbagai sudut pandang
- Air sebagai bagian dari kebudayaan dari sebuah peradaban
Tujuan dari kompetisi adalah untuk mengumpulkan film dokumenter yang berbicara mengenai isu air dari berbagai aspek dan korelasinya dengan hidup serta kehidupan manusia.
Panitia juga mencatat, dari ke-42 karya film pendek dokumenter yang masuk, mayoritas belum mampu untuk menggambarkan isu persoalan air secara utuh. Panitia masih banyak menemukan karya yang bersifat reportase dan tidak menggali fakta maupun data lebih jauh. Dengan isu persoalan air yang kompleks, simplifikasi persoalan banyak sekali terjadi di film-film yang masuk ke panitia.
Namun bukan berarti keenam nominator tidak memiliki kelemahan. Kurangnya penajaman isu hingga cara menampilkan data masih menjadi kelemahan utama yang muncul. Tapi keenam film nominasi inilah yang kemudian dianggap paling memenuhi syarat untuk masuk ke penjurian final.
Dari enam film, dewan juri memilih tiga terbaik untuk ditentukan pemenang I, II, dan III. Penilaian meliputi berbagai aspek, baik secara artistik maupun kekuatan isu yang disampaikan.
Dan ketiga film itu adalah:
Badai (Berharap di Atas Air) Karya Onny Kresnawan sebagai pemenang III.
Sang Pawang Air karya Bowo Leksono sebagai pemenang II.
Punggung Berkeringat di Tanah Yang Retak (Ngobrol dengan Mbok Giyem) karya M. Toha Nuhson Hajji sebagai pemenang I.
Dan berikut adalah penjelasan rasionalisasi juri atas tiga film pemenang tersebut:
Punggung Berkeringat di Tanah Yang Retak (Ngobrol dengan Mbok Giyem) karya M. Toha Nuhson Hajji dianggap paling mampu menterjemahkan kriteria yang ditentukan oleh panitia. Bagaimana perjuangan mendapatkan air yang merupakan simbol dari kehidupan manusia tergambarkan dengan baik. Pengorbanan, tolenransi, dan kekuatan isu yang lintas sektoral serta pesan yang tersampaikan dengan baik juga menjadi poin yang menjadikan film ini menjadi pemenang pertama.
Sang Pawang Air karya Bowo Leksono, menampilkan satu solusi menarik akan permasalahan air di masyarakat. Inisiasi masyarakat dalam mengatasi persoalannya secara kolektif merupakan gambaran menarik didalam film ini. Namun film ini terlalu deskriptif dalam menampilkan data serta fakta. Pembuat film kurang maksimal dalam memanfaatkan eksplorasi visual dalam karyanya, walau tidaak dapat dipungkiri secara teknis, film ini tampil dengan baik.
Badai (Berharap Air di Atas Air) karya Onny Kresnawan menggambarkan satu kondisi ironis masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai. Persoalan kesehatan yang terkorelasi dengan konsumsi air sungai ditempat mereka tinggal adalah satu poin penting dalam film ini. Namun film ini belum cukup dalam menampilkan data yang faktual bagaimana perubahan lingkungan tempat mereka tinggal menjadi daerah penanaman sawit yang diduga turut merusak kualitas air yang mereka konsumsi.
Sedangkan untuk tiga film lainnya, dewan juri mencatat kurangnya kejelian pembuat film dalam menterjemahkan kriteria yang diinginkan oelh panitia hingga teknis pembuatan yang tidak maksimal yang merupakan alasan mengapa dewan juri tidak memilihnya.
Namun bagi semua karya baik yang lolos seleksi maupun tidak, panitia serta dewan juri berterimakasih kepada semua pembuat film yang mengirimkan karyanya. Pada dasarnya, kompetisi ini bukan soal menang atau kalah, tapi mencoba untuk mengajak semua pihak untuk menyadari pentingnya isu air bagi kita semua.
Jakarta, 29 Maret 2008
Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI